Senin, 04 Juni 2012

RADEN AJENG KARTINI

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di
Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

1. Biografi
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan
Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari
istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari
Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur,
Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

1  Tanggal Lahir           21 April 1879
2  Tempat Lahir            Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda
3  Tanggal Meninggal       17 September 1904 (umur 25)
4  Tempat Meninggal        Rembang, Jawa Tengah, Hindia Belanda
5  Nama Panggilan          Raden Ayu Kartini
6  Dikenal karena          Emansipasi wanita
7  Agama                   Islam
8  Pasangan                R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu
itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerja
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini
diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono,
adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di
rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah
satunya adalah Rsa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan
majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul
keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan
pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku
kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan
yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun
kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.
Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil
membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau
mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi
wanita, tapi juga masalah sosial umum.

Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan
hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca
Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi,
karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de
Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah
pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini
diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu
gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini
digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada
usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini
di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon
dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini
ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.

2. Surat-surat

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat
yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu
diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju
Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak
sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan
terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah
Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku
menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali.
Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L.
Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa
bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini
yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh
kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu
berjudul Ibu Kita Kartini.

3. Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang
sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut
ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf
ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga
Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu
Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri
kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan
untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus
dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah
kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa
dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk
berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada
berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..."
Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki
untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang
dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi
ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski
hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat
mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga
pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam
surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan
Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan
Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di
Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan
Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud
tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana
untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati
oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon,
Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan
pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya
sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah
membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.
Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan
tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan
bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak
hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi
perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah
buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan
egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini
hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan
Adipati Rembang.

3. Buku

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa
Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor
Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke
dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang
berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan
Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan
surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi
kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia
lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini
selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan
jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah
Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door
Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain
adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane,
surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula
yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam
lima bab pembahasan.

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di
Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut.
Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup
sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi
lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.

Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya
menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh
Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.

Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada
pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai
dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.

Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904

Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon.
Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-
Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-
surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada
dirinya sudah saatnya untuk diungkap.

Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat
Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon.
Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan
Soematrie.

Panggil Aku Kartini Saja

Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini
juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya
Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan
data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.

Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya

Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku
Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya
lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan
dalam Door Duisternis Tot Licht.

Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir
dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober
1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai
pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang
menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian. Dalam kumpulan itu, surat-surat
Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan
kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh
Sulastin Sutrisno.

Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme.
Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903

Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan
untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini.
Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku
Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903.

"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama
ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang
banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

4. Kontroversi

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat
Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan
kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk
yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar
naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno,
jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan.
Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari
Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita
Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat
dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan
lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya
yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang
arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa
Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum
wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan
gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

5. Peringatan Hari Kartini

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun
1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk
diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari
Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar